Postingan

Kisah Pengemudi Ambulance - Part 2

Gambar
Baca Part 1 Tidak mau kepikiran lebih jauh lagi, Dimas dengan cepat menutup kantung jenazah. Ia langsung menarik napas dalam, mengembuskannya berulang kali agar lebih tenang. Pria itu sadar, sebentar lagi akan mengemudi di tengah malam buta, jadi harus bisa mengendalikan emosi dan rasa takut.  Suara pintu sebelah kiri terbuka, lalu ditutup dengan cukup keras—membuat Dimas terperanjat sambil beristigfar. Juna yang baru saja masuk menatap Dimas dengan dahi mengernyit. "Kenapa, Bang?" "Lu ngagetin, Jun! Astagfirullah," ucap Dimas seraya mengusap dadanya.  Pria itu terkekeh. Juna pikir, dirinyalah yang paling penakut. Nyatanya, Dimas juga sama. Kadang, Dimas selalu bertingkah sok berani dan meledeknya dengan kata 'cemen'. "Takut, ya, Bang?" tanya Juna tertawa kecil.  "Kaget doang ini." Wajah Dimas pucat, membuat Juna semakin menunjukan wajah kemenangan. Juna menoleh ke belakang, memastikan semua keadaan sudah aman. Namun, pria berkulit sawo

Kisah Pengemudi Ambulance - Part 1

Gambar
"Hari ini kita jemput jenazah bunuh diri massal di Perumahan Karang Asem," ucap Satrio seraya membawa kertas tugas dari rumah sakit. Dimas yang baru selesai makan langsung melipat kertas bekas nasinya, lantas ia membuangnya di tempat sampah samping kantor. Pria berlesung pipi itu menatap jam di tangannya yang sudah menunjukan pukul 23.45. "Ada berapa korban, Bang?" tanya Dimas. "Di laporan ada 5 jenazah. Ayah, ibu, dua anak, dan satu ART."  "Pantesan ...." Kali ini Juna menyambar obrolan Dimas dan Satrio. Ia terlihat mengusap tengkuknya beberapa kali sambil membayangkan kejadian yang baru saja dialaminya kemarin malam.  "Kenapa, Jun?" tanya Dimas penasaran.  Juna tampak celingukan ke area belakang rumah sakit. Apalagi, samping markas mereka adalah kamar mayat. Namun, mulutnya sudah terasa gatal ingin menceritakan kejadian kemarin.  "Begini, Bang. Kemarin, pas saya lagi beres-beres bad pasien di kamar mayat, tiba-tiba itu ranjang

Keluarga Pelupa

Gambar
Penulis: Hani Hanisyah Tahu serunya nyanyi sambil joget di kamar mandi? Gayung ditengkurapin di kepala. Pinggul bergoyang ke kiri dan kanan, mulut komat-kamit menyanyikan lagu Ayu Ting Ting yang berjudul Sambalado. Beuhhh, si Jusup jagonya! Bluuup! Tiba-tiba sabun dalam genggaman melepaskan diri, milih nyebur ke kloset. Demi apa coba? Demi tak ternoda oleh semak-semak milik Jusup. Maklum keteknya sudah lama tak dipangkas. Jusup terdiam, mematung, merenungi nasib si sabun. Ingin menyelamatkan, tapi urung karena wujudnya tak terlihat lagi, tenggelam di balik sesuatu yang bentuknya tak asing. Jalan terakhir, terpaksa disiramnya. "Mak?!" teriak Jusup. Tak ada jawaban dari emaknya. "Mak? Emak, Emak. Ooh, Emak?!" "Apaan, Jusup?" sahut emak tepat di depan pintu kamar mandi. "Gak ada sabun, Mak." "Lah, pan tadi emak udah masukin. Masa gak ada?" "Gak ada, Mak. Ini udah diubek-ubek. Emak lupa kali." "Oh, iya. Emak lupa kalau em

Payung Keberuntungan Ru

Gambar
Penulis: Yanie Wuryandari "Hei! Tunggu! Tunggu! Mana payungku!" teriak Ru  Anak laki-laki kelas empat SD itu kaget sekali. Dia berusaha mengejar mobil mewah itu. Tetapi gagal. Mobil itu berputar. Lalu meluncur pergi, membawa payung Ru.  Bukan. Itu bukan payung Ru, tetapi payung Bu Alifia, guru ngajinya.  "Bawa saja payung Ibu, Ru, hujannya deras banget. Kembalikan nanti pas ngaji lagi," itu kata bu Alifia tadi. Ru atau Mahameru nama lengkapnya, berterima kasih pada gurunya itu.  Siang itu dia pulang dari belajar mengaji di rumah bu Alifia, dengan payung pinjaman.  Ru mampir ke supermarket. Membeli minyak goreng pesanan Mama. Lalu ada om-om mendekati Ru di depan supermarket itu. "Dik, pinjam payungnya sebentar ya. Mau ambil payung Om di mobil. Nanti Om beri imbalan. Hujannya deras sekali," kata Om tadi Tentu saja Ru meminjamkan payung itu. Bahkan dengan senang hati. Bukan soal akan dapat imbalan. Namun dia bisa menolong orang lain. "Silakan, Om,&

Jagoan

Gambar
"Firman, ikut Ibu ke kantor, ambil buku ulangan yang kemarin lalu bagikan ke teman-temanmu." Bu Ardin—wali kelas 6—berkata sembari membereskan buku-bukunya. Bel tanda jam istirahat baru saja berbunyi. "Baik, Bu," jawab sang ketua kelas santun. Kelas seketika riuh begitu Bu Ardin dan Firman sudah melewati pintu. Kemarin, Bu Ardin mengadakan ulangan matematika dadakan, otomatis banyak yang mengeluh beralasan belum belajar. Termasuk aku. "Ibu sudah sering mengingatkan, belajar itu setiap hari, bukan cuma kalau ada ulangan," tegur guru muda itu sembari mengulum senyum. Senyum tipis yang bagiku terlihat seperti seringai sadis seekor serigala. Aku langsung berkeringat dingin karena matematika adalah salah satu mata pelajaran yang membuat aku malas belajar. Baru melihat angka saja rasanya kepala langsung pusing. Padahal aku mewarisi kecerdasan bapakku yaitu mudah mengingat. Hanya membaca dua tiga kali aku bisa langsung ingat luar kepala. Namun, itu tentu saja

Dia Akan Mendatangimu

Gambar
Aku menaiki tangga menuju lantai dua setelah Ibu Kost memberikan kunci kamar.  Kota Semarang memang terkenal dengan udaranya yang panas, tetapi saat ini terasa dingin sekali meskipun siang hari. Aku berhenti sebentar, memandang lorong—sisi kanan-kiri merupakan deretan kamar—yang minim cahaya.  Semua pintu tertutup dan aku tak bertemu seorang pun, sepi. Kemarin, saat mengecek kos-kosan ini, aku sempat berpapasan dengan perempuan berjilbab yang membawa ransel besar. Perempuan itu tampak buru-buru, tetapi sempat tersenyum kepadaku. Ibu Kost bilang bahwa perempuan itu hendak mudik. Aku berjalan menuju kamar yang terletak paling ujung. Saat memasukkan kunci ke lubangnya, aku merasakan seseorang menyentuh bahu. Aku menoleh, tetapi tak ada orang, padahal aku yakin merasakan sentuhan dingin dari tangan seseorang. Kuamati sekeliling—sepi dan tak ada suara. *** Aku tak bisa memejamkan mata. Karena bosan, aku memutar lagu di ponsel. Alunan lagu pun mengalun, memenuhi ruangan 2.5x2.5 meter ini.

Kenapa Rasa Telurnya Beda, Ma

Gambar
Penulis: Trila Age "Sonya sayang, ayo makan dulu yuk, mama masakin telur dadar lho." Aku menghampiri anak semata wayangku yang sedang asyik bermain boneka di ruang tengah, dia tampak girang saat melihatku. "Mama, Mama, rambut bonekanya tadi putus tapi udah aku ikat lagi, liat ma! Bagus kan?" Sonya menggoyangkan boneka pink pudar dengan rambut pirang dikepang itu didepanku. "Iya, bagus. Nanti Mama jahitkan ya, biar gak putus lagi. Sekarang, Sonya makan dulu oke?" ucapku sambil mengusap lembut rambutnya. "Oke," jawabnya antusias lalu mengacungkan jempol. Kemudian dia meletakkan bonekanya dan duduk bersila didekatku, lalu membaca doa makan. "Alloohumma baarik lanaa fii maa rozaqtanaa wa qinaa 'adzaaban naar, aamiin." Suapan pertama, wajahnya tampak biasa saja. Aku menghembuskan nafas lega. Lalu pada suapan kedua, wajahnya tampak seperti berfikir. Aku menarik nafas. "Ma, rasa telurnya kok beda," tanyanya dengan wajah polos