Kisah Pengemudi Ambulance - Part 1

"Hari ini kita jemput jenazah bunuh diri massal di Perumahan Karang Asem," ucap Satrio seraya membawa kertas tugas dari rumah sakit.

Dimas yang baru selesai makan langsung melipat kertas bekas nasinya, lantas ia membuangnya di tempat sampah samping kantor. Pria berlesung pipi itu menatap jam di tangannya yang sudah menunjukan pukul 23.45.

"Ada berapa korban, Bang?" tanya Dimas.

"Di laporan ada 5 jenazah. Ayah, ibu, dua anak, dan satu ART." 

"Pantesan ...." Kali ini Juna menyambar obrolan Dimas dan Satrio. Ia terlihat mengusap tengkuknya beberapa kali sambil membayangkan kejadian yang baru saja dialaminya kemarin malam. 

"Kenapa, Jun?" tanya Dimas penasaran. 

Juna tampak celingukan ke area belakang rumah sakit. Apalagi, samping markas mereka adalah kamar mayat. Namun, mulutnya sudah terasa gatal ingin menceritakan kejadian kemarin. 

"Begini, Bang. Kemarin, pas saya lagi beres-beres bad pasien di kamar mayat, tiba-tiba itu ranjang pada gerak sendiri. Yang tadinya lurus, semua pada melenceng, Bang." Juna bergedik. Pria berumur 25 tahun itu mengusap tengkuknya beberapa kali 

Dimas pun terdiam seketika. Ia mengalami hal yang sama juga. Akan tetapi, ia tidak ingin menceritakannya karena posisi mereka sedang akan bertugas. Akhirnya, ia memilih untuk tidak memikirkan hal itu. 

"Udah biasa itu mah, Jun. Kalo ada orang yang meninggal, pasti suka ada bunyi aneh. Atau apa gitulah, kasih tanda. Kayak baru kerja beberapa bulan aja." Satrio menepuk pundak Juna, ia menganggap hal itu wajar saja. Pekerjaan mereka memang memiliki banyak kisah, tentu bukan hal yang baru. 

"Tapi, Bang. Hawanya beda." Juna masih bersikukuh. 

Tidak ingin banyak bicara, Satrio pun memberi perintah pada Dimas untuk segera memanaskan ambulance sembari menunggu intruksi dari komandan di TKP. Sebagai sopir, gegas Dimas melaksanakan semuanya dengan baik. 

Pria berumur 24 tahun itu mulai duduk di kursi kemudi dan menyalakan mesin. Untuk menghilangkan jenuh, ia memutar musik dari ponsel dengan earphone di telinga. 

Entah mengapa, kali ini Dimas merasakan hawa aneh dalam mobilnya. Biasanya, menjemput atau mengantarkan jenazah siapa pun, ia tidak pernah merasakan segelisah sekarang. 

Dimas menyandarkan kepalanya pada jok mobil, ia memikirkan kejadian kemarin saat tiba-tiba kedatangan tamu seorang wanita misterius tepat pukul 10 malam di rumahnya. Menurutnya, itu belum terlalu malam.

"Cari siapa, ya?" tanya Dimas. Tidak ada orang rumah yang bangun saat itu. Kebetulan, Dimas tengah libur dinas dan malam hari ia gunakan bermain PS bersama adiknya.

Wanita itu hanya berdiri dengan wajah yang begitu sedih. Kulitnya pucat, bahkan tubuhnya begitu menggigil. 

"Mbak sakit? Mau masuk?" Dimas masih berusaha bertanya baik-baik. Akan tetapi, wanita itu masih saja diam. 

"Mbak nyasar, ya? Apa mau saya antar ke rumah Pak RT. Ayok kalo begitu."

"Tidak, Bang, makasih. Saya cuma mau bilang, besok tolong bantu saya, ya." Akhirnya wanita itu pun menjawab. 

Dimas yang merasa bingung, hanya bisa menggaruk kepalanya. "Bantu apa, Mbak?" 

"Pokoknya besok bantu saya." 

Pembicaraan tersebut hanya berakhir sampai di sana, wanita itu pergi dan Dimas yang tidak mau ambil pusing masuk ke rumah, memilih bermain PS kembali. 

Setelah di kamar, Dimas melirik jam dinding. Dahinya mengernyit, merasa ada keanehan. Dimas ingat betul, saat ada yang mengetuk pintu tadi, jam masih menunjukan pukul sembilan. Namun, kenapa saat ke kamar sudah pukul 12 malam? Adiknya juga sudah tidur begitu pulas.

Ia juga baru sadar, mengapa bisa-bisanya tadi membuka pintu serta mengobrol dengan wanita misterius di malam hari seperti itu? 

"Jangan ngelamun! Hayu, jalan!" Satrio masuk ke mobil dan duduk di samping Dimas, membuat pria itu terperanjat seketika. 

Sementara itu, Juna duduk di bagian belakang. Sirine dari ambulance lain sudah terdengar, semua bergerak keluar dari gerbang rumah sakit.

"Ngerasa aneh, gak, sih, Bang? Hawanya aneh aja gitu?" tanya Dimas memasang wajah cemas.

"Jangan ikutan kayak si Juna. Lebay lu, ah. Buruan jalan!" Satrio memilih untuk tidak menggubris kata-kata Dimas.

Dimas mengangguk. Benar apa yang dikata Satrio, kenapa dirinya bisa berlebihan seperti itu. Menjemput korban pembunuhan atau kecelakaan baginya sudah biasa. Kenapa sekarang ia harus merasa takut? 

Sepanjang jalan mereka mengobrol. Satrio menceritakan jenazah yang akan mereka jemput. Katanya, para korban di rumah tersebut gantung diri secara bersamaan. Bahkan, Satrio memperlihatkan foto-foto yang seketika membuat bulu kuduk merinding. 

"Kok, bisa barengan gitu, ya?" tanya Juna yang menempelkan diri pada jok depan. "Kurang iman mereka." 

"Hush! Jangan bawa iman sama orang yang meninggal kayak gini. Kita tidak tau mental masing-masing orang kayak gimana," tutur Satrio, membuat Juna mengangguk paham. 

Tak terasa waktu cepat berlalu. Mereka kini sampai di Perumahan Karang Asem. Sudah banyak polisi dan warga sekitar di tempat kejadian. Karena keadaan semakin tidak kondusif, akhirnya komandan meminta jenazah cepat dibawa ke rumah sakit untuk diautopsi.

Satu kantung jenazah pun masuk ke ambulance milik Dimas. Satrio dan Juna masih di luar, sementara Dimas sudah duduk di kemudi. 

Ia menoleh ke belakang, melihat resleting bagian kepala yang ternyata masih terbuka. 

"Pasti kerjaan si Juna. Emang gak pernah beres," gerutu Dimas. 

Tubuh Dimas yang sudah memutar ke belakang sedikit dicondongkan untuk menutup bagian wajah korban. Namun, ia tersentak seketika sambil beristighfar. "Astagfirullah. Ini, kan, wanita yang semalam datang ke rumah!"

Baca Part 2

Postingan populer dari blog ini

Kisah Pengemudi Ambulance - Part 2

Jagoan