Kisah Pengemudi Ambulance - Part 2

Baca Part 1

Tidak mau kepikiran lebih jauh lagi, Dimas dengan cepat menutup kantung jenazah. Ia langsung menarik napas dalam, mengembuskannya berulang kali agar lebih tenang. Pria itu sadar, sebentar lagi akan mengemudi di tengah malam buta, jadi harus bisa mengendalikan emosi dan rasa takut. 

Suara pintu sebelah kiri terbuka, lalu ditutup dengan cukup keras—membuat Dimas terperanjat sambil beristigfar. Juna yang baru saja masuk menatap Dimas dengan dahi mengernyit. "Kenapa, Bang?"

"Lu ngagetin, Jun! Astagfirullah," ucap Dimas seraya mengusap dadanya. 

Pria itu terkekeh. Juna pikir, dirinyalah yang paling penakut. Nyatanya, Dimas juga sama. Kadang, Dimas selalu bertingkah sok berani dan meledeknya dengan kata 'cemen'.

"Takut, ya, Bang?" tanya Juna tertawa kecil. 

"Kaget doang ini." Wajah Dimas pucat, membuat Juna semakin menunjukan wajah kemenangan.

Juna menoleh ke belakang, memastikan semua keadaan sudah aman. Namun, pria berkulit sawo matang dan beralis tebal itu mengusap tengkuknya beberapa kali. 

"Bang, hawanya agak aneh, ya. Ngeri. Biasanya ga kayak gini."

Ternyata Dimas tidak merasakan itu sendirian. Ambulance malam ini sangat dingin. Akan tetapi, ia berusaha berpikir positif, mungkin karena memang waktu juga sudah mau memasuki Subuh. 

"Udah jangan dibahas, Jun. Lu duduk di belakang sana. Kan, Bang Satrio yang di depan," ucap Dimas sambil menghidupkan mesin ambulance. 

"Bang Satrio katanya mau ikut komandan. Tadi dia bilang gitu." 

Saat mereka tengah berbincang, kaca ambulance diketuk. Terlihat Satrio tengah berdiri di samping tempat duduk Dimas. Sontak Dimas membukanya, lalu bertanya, "Kenapa, Bang?" 

"Dim, ke rumah sakit langsung sama Juna, ya. Ada kepentingan dulu sama komandan. Berani, 'kan? Terus jalannya motong aja, biar cepet. Jangan ke jalan raya yang tadi."

Bukannya menjawab, Dimas dan Juna malah saling pandang satu sama lain. Akhirnya mereka mengangguk kompak. Setelah mengucapkan hati-hati dan memberi arahan ketika di rumah sakit nanti, ambulance yang Dimas bawa pun mulai meninggalkan tempat kejadian.

Google Map mulai dinyalakan karena mereka kurang mengetahui jalan yang dimaksud oleh Bang Satrio tadi. Katanya, Juna pernah ke jalan itu, hanya saja baru satu kali. Jadi, tidak terlalu ingat betul. 

Di perjalanan, mereka habiskan dengan mengobrol. Terutama Juna, ia menceritakan ketakutannya saat menjalani pekerjaan sebagai pembawa jenazah ini. 

"Inget, gak, waktu kita bawa korban kecelakaan di rel kereta api? Sampai seminggu saya gak bisa tidur, Bang," ucapnya dengan wajah lemas. 

"Kenapa, Jun?" 

"Ya, kan, saya itu awal banget kerja. Udah disuguhi sama korban yang tubuhnya hancur. Gimana, gak, syok. Mana pas malamnya, di rumah bau darah terus." 

Dimas hanya mengangguk paham. Ia juga sama paniknya seperti Juna, hanya saja kebutuhan hidup membuat Dimas tetap bertahan. Apalagi saudaranya dulu sering bilang, lulusan kuliah tidak boleh jadi pengangguran. 

Seketika Dimas ingat, saat awal kerja jadi sopir ambulance, ia harus menjalani tes dan pelatihan PPGD (Penanggulangan Penderita Gawat Darurat). Saat dinyatakan siap, dirinya langsung diberi tugas yang sama seperti Juna. 

Bahkan, lebih parahnya, ia selalu mendapat mimpi buruk yang sama selama satu minggu berturut-turut. Beruntung Satrio orang yang sudah paham akan hal itu, sebisa mungkin ia menghilangkan 'makhluk' yang 'katanya' ikut menempel di tubuh Dimas. Wallahualam. 

"Bang, kalo gak salah di depan sesudah jembatan itu jalannya agak belok-belok. Hati-hati, ya," pinta Juna. 

Dimas kembali mengangguk. Mobil masih dalam keadaan jalan, entah kenapa Dimas ingin sekali membetulkan kaca spion. Ia mengintip keadaan di belakang kemudi. 

Setelah dinyatakan aman, Dimas kembali fokus menyetir. Ia mulai memasuki kawasan sepi. Jalan sedikit berkelok dan pohon-pohon besar di sampingnya. 

Sirine yang sedari tadi menyala, tiba-tiba saja mati. Juna dan Dimas pun saling melirik satu sama lain.

"Abang cek, gak, tadi?" tanya Juna dengan wajah panik. Bukan apa-apa, jalanan sangat sepi, bahkan tidak ada kendaraan yang melintas sedari tadi. 

"Diceklah. Orang tadi pas sore lap-lap dan cek mesin sama elu, kan, Jun?" 

Juna mengangguk. Ia membuka sedikit jendela, melihat di kaca spion—memastikan ada kendaraan atau tidak di belakang. Lantas, ia kembali menutupnya lagi karena angin malam begitu menusuk. 

"Sepi, loh, Bang," ucap Juna. 

"Ya, pasti sepi. Udah mau setengah dua, Jun." Pikiran Dimas mulai ke mana-mana. Ia memerhatikan jalan di depan sana yang juga tidak ada kendaraan lain. 

Juna mulai kelimpungan, ia membuka Google Map kembali karena takut salah jalan. Sialnya, malah tidak ada sinyal. 

Terdengar suara rintik hujan, membuat keduanya semakin tegang. Di depan sana, jalan kian tertutup kabut. Dimas berusaha membawa ambulance dengan sangat hati-hati karena jalan yang begitu licin dan berbatu. 

"Kayaknya, kita kesasar, Jun," ucap Dimas dengan jantung yang sudah tidak karuan.

Postingan populer dari blog ini

Jagoan

Kisah Pengemudi Ambulance - Part 1