Jagoan

jagoan

"Firman, ikut Ibu ke kantor, ambil buku ulangan yang kemarin lalu bagikan ke teman-temanmu." Bu Ardin—wali kelas 6—berkata sembari membereskan buku-bukunya. Bel tanda jam istirahat baru saja berbunyi.

"Baik, Bu," jawab sang ketua kelas santun.

Kelas seketika riuh begitu Bu Ardin dan Firman sudah melewati pintu. Kemarin, Bu Ardin mengadakan ulangan matematika dadakan, otomatis banyak yang mengeluh beralasan belum belajar. Termasuk aku.

"Ibu sudah sering mengingatkan, belajar itu setiap hari, bukan cuma kalau ada ulangan," tegur guru muda itu sembari mengulum senyum. Senyum tipis yang bagiku terlihat seperti seringai sadis seekor serigala.

Aku langsung berkeringat dingin karena matematika adalah salah satu mata pelajaran yang membuat aku malas belajar. Baru melihat angka saja rasanya kepala langsung pusing. Padahal aku mewarisi kecerdasan bapakku yaitu mudah mengingat. Hanya membaca dua tiga kali aku bisa langsung ingat luar kepala. Namun, itu tentu saja tidak ada gunanya pada pelajaran matematika.

Mempelajari matematika tidak hanya tentang mengingat rumus, harus banyak latihan juga. Itulah mengapa aku semakin malas belajar. Seperti semalam, padahal Ibu sudah mengancam tidak akan memberiku makan malam kalau tidak mau belajar, tapi aku terlalu badung. Aku berpura-pura membaca buku, kenyataannya ada komik terselip di tengah buku diktat besar yang kubuka. Hasilnya ... kemarin aku mendadak migren melihat dua puluh soal matematika yang ditulis Bu Ardin di papan tulis.

Tampaknya, beliau memang ingin menguji serta memberi motivasi anak-anak didiknya supaya rajin belajar. Tidak peduli ada ulangan atau tidak, setiap hari harus belajar, begitu katanya. 

Firman kembali dengan tumpukan buku di pelukannya. Aku semakin resah. Dari dua puluh soal, hanya sekitar tujuh atau delapan nomor yang bisa kukerjakan dengan baik, selebihnya hanya meraba-raba.

Buku ulangan bersampul coklat itu kuterima, lalu dengan tangan gemetar kubuka dari halaman belakang. Coretan dengan tinta merah menutupi angka dan rumus yang kutulis kemarin. Lemas lututku melihat angka lima di dalam lingkaran besar di sana.

Aku masih meratapi nilai yang jeblok saat suara Erhan berseru lantang, "Guruh dapet lima, teman-teman!" 

Nada menyindir keluar dari mulutnya. Kelas kembali riuh. Kali ini bukan erangan atau bisik-bisik, tapi kata-kata ejekan untukku.

"Emangnya gak ada yang dapet jelek selain aku?" gerutuku dalam hati.

"Makanya belajar di rumah." Erhan semakin mengejek. "Eh, lupa … emaknya mana bisa ngajarin, cuma bakul tempe."

Kupingku panas mendengar kalimat yang terakhir. Aku tak tahan lagi, Erhan sudah keterlaluan menurutku. Kudorong meja menjauh dari badanku lalu kuseruduk bocah nakal itu.

Kami berguling-guling di lantai. Kelas semakin riuh dengan sorakan dan tepuk tangan siswa laki-laki yang kegirangan mendapat tontonan seru. Mereka meneriakkan nama kami berdua secara bergantian, seolah berharap pergulatan ini tidak pernah berakhir.

Kami saling menarik kerah baju dan mengguncang-guncang tubuh lawan. Sesekali kembali berguling bila kehilangan keseimbangan.

Bajuku dan Erhan sudah berantakan, rambut acak-acakan, ditambah keringat yang menimbulkan aroma khas perkelahian.

Kami bergulat cukup lama dan baru saling melepaskan cengkeraman ketika tangan Bu Ardin membentang menciptakan jarak yang lebar di antara kami.

"Guruh, Erhan, ikut Ibu ke kantor!" perintahnya tegas.

Aku masih terengah-engah, begitu juga Erhan. Kami bersitatap marah dan masih ingin melanjutkan perkelahian.

"Kalian tidak dengar? Ikut Ibu ke kantor sekarang!"

Erhan mengekor Bu Ardin. Aku memilih berjalan agak jauh di belakang. Namun, memandanginya dari belakang seperti ini, membuatku kembali ingin menyerang. Akhirnya, aku mempercepat langkah dan mendahului Erhan, juga Bu Ardin.

"Kalian itu sudah kelas 6, harusnya bisa kasih contoh yang baik untuk adik-adiknya. Ini malah berkelahi." Bu Ardin menatap kami tajam, aku meliriknya dengan takut-takut.

"Erhan, bisa kamu jelaskan ada apa?" Bu Ardin berpaling ke arah Erhan, memajukan wajahnya sedikit hingga tepat di depan wajah Erhan.

"Guruh yang duluan nyerang, Bu …."

"Bohong!" potongku marah, "Erhan yang mengejek ibuku cuma bakul tempe."

"Benar Erhan?"

Erhan kembali menunduk. 

"Benar kamu mengejek ibunya Guruh?" 

Aku menyeringai senang melihat Erhan ketakutan. Rasain!

"Apa pun pekerjaan seseorang, selama pekerjaan itu halal dan baik, kita tidak boleh menghina. Bukan hanya ibu atau ayahnya teman, kepada orang tua sendiri juga tidak boleh malu. Mereka sudah susah payah bekerja, biar anak-anaknya bisa sekolah, bisa makan yang enak, gak kelaparan. Mengerti?" Suara Bu Ardin sudah tidak keras seperti tadi.

Erhan mengangguk samar, kepalanya terus menunduk. Senyumku semakin lebar.

"Kamu juga, Guruh, Ibu gak pernah ngajarin berkelahi. Semua masalah bisa diselesaikan dengan bicara baik-baik. Ngerti?"

Aku langsung tertunduk, sama seperti Erhan. Senyumku lenyap karena ternyata Bu Ardin tidak membela salah satu di antara kami. Menurutnya, kami sama-sama bersalah.

"Kalian mengerti yang Ibu katakan?"

Kami kompak menjawab dan mengangguk.

"Sekarang ayo salaman, saling minta maaf dan memaafkan."

Tidak butuh waktu lama untuk Erhan mengulurkan tangannya dan meminta maaf. Sedangkan aku masih merasa sakit hati. Dia sudah menghina ibuku, sekarang dengan mudahnya bilang maaf dan aku harus memaafkannya. Enak saja.

"Guruh … Erhan sudah minta maaf," tegur Bu Ardin lembut.

Aku melirik Erhan, dia tidak terlihat sedang bercanda. Tapi ….

"Maafin aku, Guruh, aku janji gak akan menghina ibumu lagi." Erhan mengulangi permintaan maafnya.

Mataku tiba-tiba panas. Mati-matian kutahan air mata ini, tapi tidak bisa. Aku menyambut uluran tangan Erhan sambil menangis. Bu Ardin pun segera memelukku.

Aku sangat menyayangi ibuku dan membenci orang-orang yang merendahkannya. Ibu memang tidak pintar, hanya seorang penjual tempe di pasar. Namun, bagiku dia lebih hebat dari siapa pun.

Pemalang, 31 Januari 2022

*gambar hanya pemanis

Postingan populer dari blog ini

Kisah Pengemudi Ambulance - Part 2

Kisah Pengemudi Ambulance - Part 1