Keluarga Pelupa

Keluarga Pelupa

Penulis: Hani Hanisyah

Tahu serunya nyanyi sambil joget di kamar mandi? Gayung ditengkurapin di kepala. Pinggul bergoyang ke kiri dan kanan, mulut komat-kamit menyanyikan lagu Ayu Ting Ting yang berjudul Sambalado. Beuhhh, si Jusup jagonya!

Bluuup! Tiba-tiba sabun dalam genggaman melepaskan diri, milih nyebur ke kloset. Demi apa coba? Demi tak ternoda oleh semak-semak milik Jusup. Maklum keteknya sudah lama tak dipangkas.

Jusup terdiam, mematung, merenungi nasib si sabun. Ingin menyelamatkan, tapi urung karena wujudnya tak terlihat lagi, tenggelam di balik sesuatu yang bentuknya tak asing. Jalan terakhir, terpaksa disiramnya.

"Mak?!" teriak Jusup.

Tak ada jawaban dari emaknya.

"Mak? Emak, Emak. Ooh, Emak?!"

"Apaan, Jusup?" sahut emak tepat di depan pintu kamar mandi.

"Gak ada sabun, Mak."

"Lah, pan tadi emak udah masukin. Masa gak ada?"

"Gak ada, Mak. Ini udah diubek-ubek. Emak lupa kali."

"Oh, iya. Emak lupa kalau emak pelupa," ucap emak. Sementara di dalam kamar mandi, Jusup nyengir kuda.

"Sania?!" teriak emak, "beliin sabun mandi di warung Bu Sarti!" perintahnya.

Sania gadis berponi kosong, alias tak ada poninya itu melesat ke arah dapur, di mana emak tengah sibuk duduk dan sedang tidak melakukan apa-apa.

"Uang, Mak," ucap Sania.

"Pakai uang kamu dulu, kalau ada kembaliannya, ambil aja."

Sania terdiam, berpikir ada yang aneh, tapi tak menemukan apa-apa. Segera ia berbalik, "Oke, Mak. Makasih." Kemudian mulai melangkah.

Sania memanggil ojek, lalu meminta mengantarkan dirinya ke warung Bu Sarti yang jika ditempuh dengan motor akan memakan waktu kurang lebih setengah jam.

Sebenarnya ada warung tepat di sebelah rumahnya, tapi demi bakti dan tak ingin menjadi maling kunding, gadis itu terpaksa menurut dengan perintah emaknya. Anak baik.

Sementara tubuh Jusup sudah mulai berkarat menunggu sabun mandi yang tak kunjung disodorkan emak. Capek berdiri, ia berjongkok. Lelah berjongkok, ia berbaring.

"Mak ... sabunnya mane?" lirih Jusup.

"Sabun apaan, dah?"

Jusup menepuk jidat, "Ilih, si Emak pasti lupa."

Akhirnya Jusup mandi, tak memedulikan sebagian badan yang masih tak tersentuh sabun. Setelah merasa cukup, dia keluar dari kamar mandi. Benar saja, emaknya terlihat santai di lantai dapur. Benar-benar lupa dia.

"Dasar emak pelupa," gerutu Jusup dalam hati.

***

Sore menjelang petang, Jusup sudah rapi dengan pakaiannya. Topi biru, baju merah, celana jeans kuning seperti labu emak di dapur, dan sepatu hijau. Benar-benar kombinasi warna yang sempurna, katanya.

"Ke mane lu?" tanya bapak yang baru pulang kerja pada anak bujangnya.

"Biasa, Pak. Malam mingguan sama awewe," sahut Jusup.

"Halah, emang lu punya cewe?"

"Ilih si Bapak, anak ganteng gini masa kaga punya."

"Yodah sana, pening pala bapak liat muka kau. Mirip si Jupri, mantan pacar emakmu," omel bapak.

"Ahsiyap, Pak Jupri." Jusup membungkuk hormat pada lelaki berbadan gemuk dengan perut buncit di hadapannya.

Sementara Sania merengut di sofa ruang tamu. Uangnya habis untuk bayar ojek sepulang dari warung Bu Sarti yang ternyata tutup. Ketika minta ganti rugi ke emak, emak malah marah. Lupa dia kalau pernah nyuruh anak gadisnya beli sabun. 'Kan apes.

Motor Jusup baru saja melesat meninggalkan rumah, menyisakan asap di sekitar teras. Bukan asap knalpot, tapi emak memang lagi bakar ikan di sudut pagar rumah.

***

Jusup baru saja tiba di pantai, di mana sudah ramai pasangan saling bergandengan tangan. Ada juga beberapa yang saling suap-suapan. Membuat dada Jusup bergemuruh, tak sabar menanti sang pujaan datang.

Malam berlalu semakin meninggi, Jusup mulai resah karena pasangannya tak kunjung datang. Beberapa bagian tubuhnya sudah dipenuhi gigitan nyamuk. Rela menunggu meski resikonya terkena DBD, laki-laki sejati memang.

Tiba-tiba ponselnya berdering, tampak nama seorang gadis di sana, tapi Jusup tak ingin terlalu senang, takut salah orang.

"Halo."

"Abwang!"

"Siapa?"

"Sania, Bang."

"Sania siapa? Minyak goreng?"

"Ebuset. Sania adek Abanglah!"

"Oh ... anaknya emak?"

"Ho ... oh, Abang."

"Ada apa?"

"Pulang!"

"Nanti. Gebetan abang belum datang enih."

"Gak bakalan datang dia, Abang."

"Ilih, kenapa pula?"

"Abang, 'kan, jomlo!"

Jusup terdiam. Jomlo? Wajahnya berubah sedih. Seperti habis kejatuhan tai cicak, disusul cicaknya, plafon, dan genteng rumah. Berkali-kali lipat sakit, bukan main.

Setelah memutus sambungan telepon, dia beranjak. Mulai berjalan tergesa, berniat meninggalkan pantai. Tak sengaja ditabraknya bahu seorang gadis, tak peduli ia terus berjalan. Gadis itu berteriak, marah mungkin karena Jusup tak meminta maaf.

Diseret motornya dari apitan kendaraan lain, lalu mulai melaju. Dari kaca spion masih terlihat gadis yang ditabraknya tadi, berdiri dengan wajah penuh amarah. Jusup tak peduli. Hatinya hancur. Dia jomlo.

Sampai di rumah, Jusup langsung nyungsep di ranjang. Seperti anak perawan lagi ngambek. Tak lama kemudian ia terlelap.

***

Bangun pagi, mata Jusup terbelalak saat membaca pesan dari seorang gadis bernama Sabrina. Di dalam puluhan pesan itu berisi umpatan karena meninggalkannya begitu saja di pantai tadi malam.

'KITA PUTUS!' Pesan terakhir sebelum WA jusup diblokir.

"Tidaaak!" teriak Jusup, menyadari gadis yang ditabrak semalam adalah Sabrina, kekasihnya.

End.

Makassar, 15 Juni 2020

Postingan populer dari blog ini

Kisah Pengemudi Ambulance - Part 2

Jagoan

Kisah Pengemudi Ambulance - Part 1